Balai Desa

sag.
4 min readAug 2, 2023

Setelah selesai bersiap menuju ke Balai Desa, Mardi dan Sakti tidak lupa mampir ke rumah mbak Lastri untuk menyampaikan pesan bapaknya tadi sore.

“Kulo nuwun.. Mbak Lastri..” sahut Mardi sembari mengetuk pintu rumah Mbak Lastri.

“Nggeh, sebentar..” Mbak Lastri membuka pintunya yang terkunci dan mendapati Mardi juga Sakti di depan rumahnya.

“Lho Mardi, ono opo le?”

“Niku Mbak, bapak tadi bilang Pak Djiwa besok sore mau datang kesini sama keluarganya.. Jadi mau minta tolong Mbak Lastri untuk bersih-bersih rumah Pak Djiwa besok pagi..”

“Ohh nggeh, besok pagi tak bersihkan..”

“Besok taman sama kolam biar saya sama Sakti yang bersihkan, Mbak..”

“Nggeh..”

“Yasudah kalau gitu Mbak, saya sama Sakti pamit nggeh.. mau lanjut ke balai desa.. Suwun ya Mbak..”

“Hoo iyo iyo, tiati yo le..”

“Nggeh Mbak.. Permisi…” Mardi dan Sakti membungkukan badan seraya pamit dengan Mba Lastri.

Semua anggota PEMDADIKER alis Pemuda Pemudi Kreatif Desa Aloka sudah berkumpul di Balai Desa. Mereka sedang asik berbincang sembari menunggu Pak Kades datang memberi arahan.

“Hee Mardi, Sakti, sini!”

“Eh? Iyo Mas..”

Mardi duduk di sebelah Mas Yudis dan Mas Tirta. Sedangkan Sakti duduk di dekat Bagas, Adit dan Wafiq. Sebenernya umur Mardi itu tidak jauh dari Sakti dan temen-teman Sakti lainnya, namun Mardi memang lebih sering kumpul dan ngobrol sama yang lebih tua. Sekalian nimba ilmu sih katanya.

“Mar, kamu jadi daftar kuliah tah?” Tanya Mas Tian yang duduknya juga ngga jauh dari Mardi.

“Hehe ndak jadi Mas, uangnya buat biaya kuliah Sakti aja..”

“Lhoo piye to? Udah coba daftar jalur beasiswa?”

“Belum Mas… Kalaupun dapet beasiswa kan juga butuh biaya untuk keperluan kuliah lainnya… Sayang uangnya nanti Mas, takut kurang buat Sakti kuliah..”

“Menurutku, kamu coba dulu aja yang beasiswa Mar.. Jenenge rejeki wis ono sing ngatur. Ora reti mengko koe ketomplokan duit 1M…” tutur Mas Yudis memeberikan saran kepada Mardi sambil terkekeh.

“Koe yo ono prestasi Mar, aku weroh koe menang juara 1 pas lomba debat” tambal Mas Juan.

“Ho’oh, aku yo reti infone kui.. wong Pak Jamal bendino ngomongi hahaha”

“Wes mas wes, isin aku koyok ngene..” sahur Mardi yang sedikit malu karena dipuji oleh temen-temannya.

Mas Tian memegang pundak Mardi dan menatapnya dengan serius “Dicoba ya Mar, rejeki ngga ada yang tau.”

“Nggeh Mas… Besok tak coba daftar…”

Mardi dan Sakti memang tidak terlahir dari keluarga yang mapan. Tapi bagi Mardi, keluarganya saat ini sudah lebih dari cukup karena bapaknya adalah seseorang yang pekerja keras dan selalu adil dalam membagi kasih sayang untuk anak-anaknya. Mardi tidak ingin menyulitkan Bapaknya hanya karena ia ingin menempuh pendidikan lebih tinggi, karena menurut Mardi, Sakti lah yang harus lebih baik dari dirinya.

Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Sudah waktunya kegiatan di balai desa harus segera diselesaikan, karena esok masih ada yang harus kembali bekerja dan sekolah.

“Jadi itu tadi penjelasan untuk kegiatan sosial kita bulan depan. Dan untuk KKN, akan Bapak infokan kembali jika sudah ada kabar dari pihak Kampus atau Mahasiswa.”

“Nggeh siap Pak..” sahut Mas Tian

“Yaudah kalau gitu, agenda diskusi kita diakhir sampai sini ya. Dek Tirta, nanti catatannya tolong di rangkum dan kasih ke saya ya besok..”

“Iya siap Pak..”

“Kalau begitu saya duluan ya semuanya.. Terima kasih atas waktunya..”

“Sama-sama Pakk…” sahut anak-anak secara bersamaan.

Setelah mereka selesai merapihkan catatan dan balai desa, anak-anak PEMDADIKER akhirnya jalan untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Mas Tian, Mas Tirta, Mas Yudis, Mas Juan dan lainnya.. aku sama Sakti tak duluan ya..”

“Hee iyaa Mar, tiati yoo.. Inget pesenku tadi..” sahut Mas Tian

“Nggeh Mas… Permisi…”

Mardi dan Sakti akhirnya berpamitan. Namun, selama perjalanan pulang Sakti terlihat lebih diam dari biasanya. Mardi bingung, apa jangan-jangan Sakti — ah ngga, mending Mardi tanya langsung aja.

“Sakti..”

“…”

“Saktiii..”

“…”

“SAKTI..”

“Eh? Iya Mas kenapa?”

“Kamu daritadi mas panggilin ngga nyaut, jangan bengong udah malem gini..”

“Iya maaf mas..”

“Kamu kenapa? Mas liat daritadi lebih diem, ada masalah sama temen-temenmu?”

“Ndak ada..”

“Terus apa? Jangan diem-diem aja, kamu tau mas gak suka kamu sembunyiin sesuatu dari mas.”

Sakti menghela nafasnya sedikit berat. “Mas..”

“Iya, gimana?”

“Mas mau kuliah ya?”

Mardi sedikit terkejut mendengar ucapan Sakti. Sakti pasti dengar pembicaraan Mardi dengan yang lainnya.

“Mas, kalo mas mau kuliah gak apa.. Kuliah aja..”

“Sakti gak mau jadi penghalang Mas Mardi buat kuliah.. Nanti biar Sakti cari uang sendiri buat kuliah Sakti..”

“Sakti bisa cari beasiswa kok Mas! Sakti bakal belajar dan kerja yang giat kayak Mas Mardi supaya bisa kuliah!”

“Sakti udah besar Mas…”

Tubuh Sakti sedikit gemetar setelah mengungkapkan apa yang ia pikirkan sedaritadi. Tapi tak lama dari itu, ada dua lengan yang lebih besar dari dirinya mendekap erat, begitu erat.

“Sakti, dengerin Mas ya..”

“Mas memang mau banget kuliah, rasanya tuh.. seru banget ketika kuliah nanti kamu jadi tau banyak hal.. dan tentunya Mas bisa bagi ilmu Mas ke kamu, Sakti..”

“Tapi, Mas ini ngga mau egois… Mas ngga mau merepotkan Bapak untuk biaya kuliah Mas… Meskipun Mas juga sudah punya tabungan sendiri untuk kuliah.”

“Mas seneng banget kalo Sakti mau belajar lebih giat lagi. Mas akan jadi orang yang paling bangga sama kamu…”

“Jadi udah ya, Sakti ngga perlu mikirin itu lagi. Yang perlu Sakti pikirin dan lakuin sekarang itu cukup belajar dengan giat dan kejar cita-cita Sakti.. Oke?”

Sakti menggangguk. Sakti saat ini sudah menangis di pelukan Masnya yang sangat ia sayangi dan kagumi. Mas Mardi ini serba bisa, karena sejauh dia jadi adiknya Mas Mardi, Sakti belum pernah melihat Masnya ini untuk menyerah.

--

--

sag.
sag.

No responses yet